Menu

Sabtu, 05 September 2015

Semoga Cinta Kita Tidak Terjebak Sebatas Kata

Tulisan ini sebenarnya adalah kelanjutan dari artikel saya sebelumnya ‘Tak Kenal Produk Keuangan Syariah Maka Tak Sayang’. Saya akan coba me-review sedikit tulisan saya tersebut. Karena ternyata apa yang saya tulis itu diangkat menjadi salah satu tema yang diperlombakan. Walaupun di periode pertama lomba ini saya tidak menang, akan tetapi saya merasa apa yang saya tulis perlu diperkuat kembali.

Dalam artikel tersebut saya mencoba membaca perjalanan perekonomian syariah di Indonesia. Kalau anda berkenan membaca, di tulisan tersebut saya mengulas bagaimana pola pendekatan pelaku keuangan syariah di awal yang terbilang tergesa-gesa ingin memasifkan system syariah di Indonesia. Perjuangan yang cukup panjang mulai dari tahun 1990-an hingga 2015 ini memang pantas diacungi jempol karena sudah mulai mendapat tempat di hati masyarakat.

Perjuangan yang tidak mudah tentunya. Tapi sekali lagi, untuk lebih memasyarakatkan ekonomi islam (syariah) tidak bisa hanya dengan mengandalkan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas memeluk Islam. Baca juga artikel ‘Generasi Islam Turunan VS Radikalisme’ di blog saya. Dalam artikel itu, saya menganalisa bagaimana pertumbuhan penduduk Indonesia yang begitu hebatnya merupakan faktor utama meledaknya penganut islam di Indonesia. Jadi, masihkah harus berharap pada angka tersebut???

Saya kira akan naïf, kalau pelaku ekonomi syariah hanya melatarbelakangi usahanya karena alasan tersebut. Bukankah sudah mulai banyak di Negara-negara non islam yang menerapkan ekonomi syariah. Bahkan dalam artikel yang pernah saya baca, di Inggris Ekonomi syariah dapat diteima dengan sangat baik. Apakah hal tersebut bukan ironi dengan kondisi yang ada di Indonesia.

Dalam beberapa waktu kemarin, ada istilah islam nusantara yang begitu santer muncul di pemberitaan dan jejaring sosial. Saat itu, banyak sekali tulisan yang mengulas bagaimana islam di negeri kita. Salah satu artikel yang saya baca waktu itu menyebutkan bahwa islam di Indonesia adalah islam jawa, islam sunda, islam, islam aceh, islam melayu yang terbungkus menjadi islam nusantara. Masih dalam artikel yang saya baca tersebut ada istilah juga islam yang bukan kearab-araban. Oleh karena itu, islam di Indonesia ditempatkan sangat luwes sehingga mudah diterima masyarakat kita.

Lagi-lagi, kita harus belajar dari keberhasilan kiprah Walisongo yang sudah pernah saya tulis pada artikel sebelumya 'Tak Kenal Produk Keuangan Syariah Maka Tak Sayang'. Dari artikel tersebut saya coba menekankan bagaimana pola pendekatan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi syariah belum begitu optimal.

Memang secara politis, ekonomi syariah sudah mendapatkan pengakuannya secara de jure melalui beberapa aturan perundangan yang sudah ada. Di ranah ekonomi, pemasifan ekonomi syariah juga sudah mulai digarap dengan mendekati para pelaku usaha umkm, dan mendirikan koperasi-koperasi berbentuk syariah, serta meleburnya prinsip syariah ke bank-bank konvensional (bank syariah). Di jalur pendidikan juga sudah tersedia jurusan-jurusan yang mengajarkan system ekonomi syariah di beberapa perguruan tinggi.

Pola pendekatan yang harus lebih ditingkatkan lagi lebih ke arah pendekatan budaya. Kenapa? Karena karakteristik islam di Indonesia yang khas dalam menjalankan syariat islam. Masyarakat kita punya cara yang berbeda-beda dalam memandang islam-dengan budayanya masing-masing. Tidak hanya tersegmen pada muslim di Indonesia saja, saya yakin ekonomi syariah juga bisa menyasar seluruh umat beragama (universal). Sudah ada contohnya bagaimana laju ekonomi syariah di negeri Ratu Elishabet.

Tak dapat dipungkiri, bahwa sebuah produk perlu brand yang memiliki karakter sendiri agar mudah dikenali. Seperti halnya ekonomi syariah, memilih menggunakan istilah-istilah yang berbau bahasa arab, pegawai yang berjanggut dan atribut-atribut symbol lainnya. Maaf, bukannya saya anti, tetapi sekali lagi saya lebih menekankan ke arah substansi dari ekonomi syariah itu sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai islam seperti keterbukaan dan keadilan. Bukan terjebak dalam permainan simbol.

‘Ekonomi syariah itu bebas dari riba’. Kalimat tersebut memang betul adanya, akan tetapi apakah dalam konteksnya itu diterima secara bulat oleh masyarakat?? Saya masih banyak menjumpai ustad, kyai, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama lebih masih lebih memilih menggunakan jasa bank konvensional ketimbang bank syariah. Apa alasannya?? “Itu kan tergantung niatnya mas..kita menabung di bank konvensional kan bukan nyari bunga”, kata seorang ustad.

Jadi mari rasional, bahwa perekonomian atas dasar syariat islam di Indonesia semestinya juga lebih luwes. Karena memang begitulah corak islam kita. Lalu apa yang seharusnya menjadi nilai lebih ekonomi syariah?? Keterbukaan dan keadilan. Menurut saya, dua poin tersebut adalah poin utama yang sangat substansi dari keuangan syariah. Kalau pelaku ekonomi syariah bisa konsisten dan komitmen terhadapnya, insyaalloh, masyarakat dengan sendirinya akan menerima produk-produk keuangan syariah dengan mudah. Seperti walisongo, mereka tak menyebarkan islam dengan mensosialisasikan islam adalah (pengertian/etimologis), tetapi langsung dalam bentuk keteladanan yang bisa dicontoh dan langsung bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Sehingga saat itu, masyarakat merasakan bagaimana penting dan beruntungnya menjadi seorang muslim dengan sendirinya.

Kalau kita berkaca pada partai politik yang ada di Indonesia, bukannya aneh ketika para peraih kursi terbanyak di pemerintahan malah didiami oleh partai-partai nasionalis. Pada pemilu kemarin, partai islam jauh tertinggal, padahal seperti yang sering dibangga-banggakan, Indonesia adalah Negara muslim terbesar.

Tidak hanya system ekonomi syariah, Sistem perekonomian apapun pada dasarnya kan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Jadi, sebuah produk akan dinilai baik jika kebermanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. “Semoga cinta kita tidak terjebak sebatas kata”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar