Menu

Kamis, 04 Juni 2015

Tak Kenal Produk Keuangan Syariah Maka Tak Sayang

Aku Cinta Syariah. Setidaknya begitulah kampanye yang sedang digadang-gadang Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (DPbS OJK) guna memasifkan perekonomian syariah di masyarakat. Tagline bernuansa pop tersebut tentu saja bukan tanpa dasar dan pertimbangan. Cinta merupakan perwujudan sikap dalam hubungan yang sangat dekat dan erat. Kalau kita coba analogikan, ibarat dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, kata cinta menjadi hal yang mudah diucapkan. Namun sebelum cinta menjadi bahasa yang menyatukan dua insan, tidak serta merta kita bisa mencintai siapa saja. Ketika cinta diutarakan pada tahap awal, selalu ada dua kemungkinan yang terjadi—Penerimaan dan penolakan. Dua pilihan tersebut menjadi resiko yang harus diterima oleh si pejuang cinta.

Aku Cinta Syariah—bisa diartikan bahwa kita berada di posisi sang pejuang cinta. Layaknya analogi di atas, dapat diartikan kalau kita (masyarakat) harus berjuang untuk mendapatkan cintanya syariah. Memang, pada dasarnya kalimat tersebut merupakan bentuk persuasive untuk mengajak masyarakat lebih mengenal ekonomi syariah melalui produk keuangan syariahnya. Ada peribahasa lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Dari peribahasa ini, sekiranya sudah bisa menjawab apa yang akan terjadi ketika aku harus mencintai ekonomi syariah. Memang, muslim di Indonesia merupakan agama mayoritas. Bahkan Indonesia menempati urutan pertama dalam urusan jumlah penduduk muslim terbanyak dengan angka 80 % dari 230 juta jiwa penduduknya. Namun, apakah hal ini bisa menjadi jaminan semua muslim di negara kita mengenal ekonomi islam. Sepertinya belum sampai ke level kondisi tersebut.

Kalau kita berkaca dari karakteristik masyarakat muslim Indonesia, hampir sebagian besarnya merupakan masyarakat agamis yang kental dengan budaya dan adat yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kelompok islam yang terbentuk di negara kita. Tentu saja perbedaan-perbedaan tersebut akan melahirkan cara pandang yang berbeda pula tentang mengamalkan ajaran islam.

Apabila kita kaitkan dengan ekonomi syariah, tentu para pelaku ekonomi syariah ini harus memahami karakter masyarakat muslim di tiap daerah dengan corak kelompoknya—bukan dengan membalikkan logika, aku cinta syariah harus diawali oleh usaha masyarakat biasa yang kental dengan budaya tradisionalnya masing-masing.

Belajar dari Walisongo
Di Pulau Jawa ini, Islam berkembang karena peran dari Walisongo atau wali sembilan. Yakni ada sembilan yang disebut “wali” sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Kehadiran Walisongo mengakhiri dominasi kebudayaan Hindu-Budha di Nusantara yang lebih dulu masuk ke Indonesia dengan kebudayaan Islam. Peran mereka sebagai penyebar Islam di Pulau Jawa sangat terkenal dibanding tokoh-tokoh agama lainnya. Sehingga wajar, hingga kini Walisongo tak pernah luput dari sejarah Islam di Indonesia. Mereka adalah simbol penyebar agama Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Lalu, bagaimana mereka menyebarkan ajaran baru (islam) sehingga dengan mudah diterima masyarakat pada saat itu?

Bentuk metode dakwah Wali Sanga, di antaranya: Pertama, melalui perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi di antaranya bahwa Raden Rahmad (Sunan Ampel ) dalam rangka memperkuat dan memperluas dakwahnya, salah satunya, dengan menjalin hubungan geneologis.

Kedua, dengan mengembangkan pendidikan pesantren. Langkah persuasif dan edukatif ini mula-mula dipraktekkan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, kemudian dikembangkan dan mencapai kemajuannya oleh Sunan Ampel di desa Ampel Denta, Surabaya.

Ketiga, mengembangkan kebudayaan Jawa dengan memberi muatan nilai-nilai keislaman, bukan saja pada pendidikan dan pengajaran tetapi juga meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lainnya. Seperti Wayang, Sekatenan, Falasafah wluku lan pacul Sunan Kalijaga.

Keempat, metode dakwah melalui sarana prasarana yang berkaitan dengan masalah perekonomian rakyat. Seperti tampilnya Sunan Majagung sebagai nayaka (mentri) unison ini. Beliau memikirkan masalah halal-­haram, masak-memasak, makan-makanan dan lain-lain. Untuk efisiensi kerja, beliau berijtihad dengan menyempurnakan alat-alat pertanian, perabot dapur, barang pecah-belah. Begitu juga Sunan Drajat tampil dengan menyempurnakan alat transportasi dan bangun perumahan.

Kelima, dengan sarana politik. Dalam bidang politik kenegaraan Sunan Girl tampil sebagai ahli negara Wali Sanga, yang menyusun peraturan-­peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara keraton. Begitu juga Sunan Kudus yang ahli dalam perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah. Sebagai penutup untuk pembahasan tentang islamisasi Jawa oleh Wali Sanga, setidaknya ada dua faktor elementer yang menopang keunggulan dan keistimewaan dakwah para Wali. Pertama, inklusivitas para Wali dalam melihat ajaran Islam. Kedua, potensi dan keunggulan vang dimiliki oleh para Wali. Mereka telah membuktikan diri sebagai mujtahid yang memahami Islam tidak saja sebagai teori abstrak, tetapi juga sebagai realitas historis kemanusiaan.

Dari kelima aspek tersebut, para pelaku ekonomi syariah saya kira sudah mengadopsi beberapa aspek. Di antaranya dengan jalur politik, Bank syariah secara yuridis empiris dan normatif telah diakui keberadannya dengan tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di antaranya, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang No. 10 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu, pengakuan secara yuridis empiris dapat dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibukota provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah (bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan sebagainya).

Melalui jalur pendidikan, Ekonomi syariah diajarkan melalui jalur formal dengan menyelenggarakan jurusan ekonomi syariah di berbagai Universitas dan perguruan tinggi di Indonesia. Direktur Pendidikan Perguruan Tinggi Islam, Kementerian Agama, Amsal Bakhtiar mengakui bahwa dalam perkembangannya untuk program studi ekonomi syariah itu cepat dan pesat. Menurutnya, dalam data Kementerian Agama, ternyata di Indonesia, pendidikan ekonomi syariah itu sudah berjumlah 295 program studi. Sayangnya, angka tersebut masih didominasi oleh perguruan tinggi di pulau Jawa.

Walaupun, kedua aspek tersebut sudah dilakukan, menurut saya masih banyak masyarakat kita yang belum mengenal sistem ekonomi syariah terlebih produk keuangan syariah. Beberapa kasus yang saya temukan, diantaranya kurangnya pendekatan para pelaku ekonomi syariah kepada masyarakat dan terutama tokoh-tokoh agama yang dekat dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Misalnya saja pola pendekatan ke masjid-masjid yang berada di perdesaan. Kita akan lebih sering menjumpai iklan atau pun kampanye ekonomi syariah yang berada di perkotaan. Padahal masyarakat perkotaan telah lebih akrab dengan perekonomian konvensional.

Kasus kedua yaitu masih banyak masyarakat yang tidak memahami konsep ekonomi syariah. Terlebih dengan penggunaan istilah-istilah baru pada produk keuangan syariah yang berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang terlebih dahulu familiar di telinga masyarakat. Saya kira, istilah seperti halnya mudharabah, musyarakah, nisbah, bai’almuthlaq, sharf, muqayyad, murabahah, istishna’, dan masih banyak istilah-istilah lainnya yang justru membingungkan masyarakat awam. Lain halnya Walisongo, mereka tidak secara serta merta membawa islam dengan bahasa-bahasa yang tidak dimengerti masyarakat.

Kemudian, kasus ketiga tentang konsistensi lembaga keuangan syariah yang berakibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk keuangan syariah yang ditawarkan. Ada satu teman saya yang punya pengalaman menggunakan produk keuangan syariah. Ia hanya memanfaatkan sekali, untuk yang kedua kalinya ia lebih memilih melakukan peminjaman ke bank konvensional. Alasannya, karena besar pengembalian yang harus ia bayar ternyata lebih murah di bank konvensional. Awal niat memanfaatkan bank syariah karena menghindari riba, akhirnya harus dibenturkan dengan nilai ekonomis dan besarnya tanggungan yang dihadapi.

Semoga ke depan, aku cinta syariah bisa sepenuhnya terimplementasi dengan adanya rasa saling percaya dan saling memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat.

Sumber: http://obedjustin.blogspot.com/2013/01/metode-dakwah-wali-songo.html
http://mysharing.co/pendidikan-ekonomi-syariah-di-indonesia-terganjal-kendala/
http://tugasmanajemen.blogspot.com/2011/04/definisi-serta-istilah-istilah-dalam.html

4 komentar:

  1. Bagus info ini...terutama penyebaran ekonomi syariah di luar pulau jawa lebih di sebarkan dan diberikan penjelasan yang konkret ke pada calon mahasiswa,...dan yang saya tau juga memang minim.mahasiswa mengambil jurusan ekonomi syariah...mungkin ada nya ini bisa dapat membantu calon mahasiswa khusunya diluar jawa dapat mengambil dan terjadi peningkatan..

    BalasHapus
  2. Terima kasih gagasanya bagus..:D

    BalasHapus