Menu

Rabu, 03 Juni 2015

Generasi Islam Turunan VS Radikalisme

Menurut data Pew Research Center pada tahun 2010 menyebutkan bahwa populasi umat islam berjumlah lebih dari 1,6 miliar jiwa atau sekitar 23,4 persen dari total penduduk dunia. Angka tersebut menempatkan islam sebagai agama dengan jumlah penganut tersbesar di dunia. Mereka juga memperkirakan angka tersebut akan terus bertambah hingga mencapai 35 persen pada tahun 2030.

Sejauh ini, Indonesia merupakan penyumbang terbesar jumlah muslim di dunia dengan 12,7 persen dari total muslim dunia. Di Indonesia sendiri penganut islam mendominasi dengan jumlah 205 juta jiwa atau 88, 1 persen dari jumlah penduduk. Masih dari Pew, di tahun 2010 nanti posisi Indonesia bias tergeser oleh Pakistan.

Menurut kajian mereka, perubahan itu terkait dengan menurunnya tingkat kelahiran di kalangan perempuan muslim di Indonesia. Selama 2010-2015 misalnya, setiap ibu di tanah air melahirkan dua anak. Berbeda dengan Pakistan di mana setiap ibu melahirkan 3,6 anak dalam periode yang sama. Semakin meningkatnya jenjang pendidikan tingkat lanjut disertai naiknya standar hidup dan perpindahan domisili dari desa ke kota menjadi penyebabnya.

Dari paparan di atas menunjukkan bahwa betapa berpengaruhnya laju pertumbuhan penduduk muslim dengan jumlah penganut islam. Atau dengan kata lain, banyaknya penduduk Indonesia yang menganut ajaran islam saat ini merupakan salah satu buah dari ledakan penduduk yang terjadi—bukan lahir dari perenungan untuk memahami yang kemudian terpatri menjadi sebuah keyakinan.

Adanya sebutan islam KTP misalnya, akan mudah kita temukan dari beberapa lapis kalangan masyarakat. Kecenderungan lemahnya pemahaman akan ajaran islam menjadi faktor penting dalam menjaga kemurnian islam sebagai pedoman hidup.

Sangat disayangkan apabila pedoman hidup itu diikuti tanpa keyakinan yang kuat akan kebenarannya. Maka penegasan kembali terhadap apa yang kita yakini menjadi sangat penting dalam membentuk karakter keislaman kita.

Penegasan kembali itu dapat dimulai dengan mempertanyakan kembali "Kenapa saya memilih Islam?" Untuk selanjutnya kita sendiri harus menjawab pertanyaan ini sesuai dengan keyakinan kita apa adanya. Apakah kita memeluk islam karena garis keturunan yang menganut islam? Atau memilih dengan alasan-alasan yang bersifat ilmiah, yaitu alasan-alasan yang dapat didukung dengan logika berpikir manusia.

Beragam alasan dari setiap orang pasti berbeda saya yakin terlalu banyak bila harus dibeberkan satu per satu dalam tulisan. Yang perlu diperhatikan sebenarnya bukan bentuk lisan (atau tulisan) dari alasan-alasan itu. Yang perlu diperhatikan adalah sekuat apa fondasi keyakinan yang dibentuk oleh masing-masing alasan tersebut.

Entah itu karena nenek moyang, karena alasan ilmiah, karena mukjizat, karena petunjuk dan karunia Allah, tetap saja yang paling penting adalah kekuatan fondasi keimanan yang dibentuk alasan tersebut. Menganggap alasan yang satu lebih lemah ketimbang alasan yang lain pun sebenarnya tidak layak untuk dilakukan karena kekuatan sebuah alasan terkait erat dengan kondisi orang yang bersangkutan.

Jangan sampai usaha kita untuk menegaskan keimanan ini malah berbalik membuat kita kehilangan pijakan. Setiap manusia memiliki karakteristik kemampuan berpikir masing-masing. Oleh karena itu jangan sampai kita disibukan dengan memikirkan (atau bahkan membuat-buat) alasan-alasan tanpa memikirkan kekuatan fondasi keimanan kita. Fokus kita dalam mempertanyakan keyakinan kita tidak lain untuk memperkuat keyakinan kita itu sendiri.

Terlebih dengan banyaknya aliran-aliran yang berkembang dalam memahami ajaran islam. Proses penerimaan ajaran islam yang hanya sebagai warisan keluarga bisa berdampak yang buruk bagi generasi penerus, apalagi jika sang pemberi waris tak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang islam. Di era keterbukaan seperti saat ini, masyarakat dihadapkan pada beberapa pilihan—apakah akan menjadi kelompok liberal, progresif, fundamentalis, radikal, atau inklusif? Atau malah ada yang tidak tahu pada kelompok mana ia berpijak.

Pada tataran bagaimana kita menemukan islam (kelompok apapun), tidak menjadi soal terhadap apa yang dipilih kalau itu merupakan hasil pemahaman dan pemaknaan terhadap apa yang diyakini. Yang menjadi soal adalah masih banyaknya kalangan yang berada di daerah abu-abu. Golongan-golongan inilah yang akhirnya bisa terjerumus pada pilihan yang salah. Kesimpulan apa yang salah dan apa yang benar memang tak bernilai absolut. Namun, saya melihat adanya konteks yang tidak tepat dengan teks. Misalkan saja di Indonesia, saat ini kelompok radikal yang sudah mulai mengancam eksistensi akan pola keberagaman masyarakat Indonesia tentu tak bisa dibenarkan.

Dalam bingkai Pancasila melalui Bhinneka Tunggal Ika dan termaktub pada kelima pasalnya, Indonesia telah menyatakan pengakuan akan keberagaman yang ada. Bukan pembenaran pada salah satu kelompok atau pemikiran.

Apabila kita kaitkan dengan laju ledakan penduduk muslim di Indonesia dengan lemahnya pemahaman ajaran islam atau pemahaman islam secara teks berimplikasi pada identitas generasi yang diciptakan. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kemunculan kembali garis islam radikal yang meresahkan warga. Tidak sedikit orangtua yang mulai khawatir akan pengaruh pemikiran radikal kepada anak-anaknya.

Pada tahun 2011, Negara Islam Indonesia (NII) berhasil merekrut anggota dalam jumlah besar. Ironisnya recruitmen itu terjadi di kalangan mahasiswa yang seharusnya dapat berpikir ilmiah. Kemudian, baru-baru ini paham radikalis muncul kembali dalam balutan ISIS. Dan lagi-lagi generasi mudalah yang menjadi incaran para penyebar ajaran radikalisme. Iming-iming surga menjadi jualan yang anehnya laris manis dimakan mentah-mentah begitu saja. Jadi, mari kita pertanyakan pada diri kita masing-masing. Dari mana asal keyakinan kita? Dan kalau kita mau ekstrim, pernahkah kita membayangkan kalau kita dilahirkan dari orangtua yang tak mengenal agama, apakah kita akan mengakui keberadaan tuhan? Dan jika kita sudah meyakini, pertanyakanlah tujuan agama kita. Apakah hanya sebatas surga dan neraka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar