Menu

Rabu, 03 Juni 2015

Jokowi, Xi Jinping, dan Hukuman Mati


“Aku mah setuju aja mereka dihukum mati, toh mereka (para pengedar narkoba) juga sudah menyebabkan kematian banyak orang.”

“ngga manusiawi!!!”

Status-status seperti itu tentunya banyak kita jumpai di berbagai jejaring sosial pada akhir April lalu. Semua orang beramai-ramai ikut bersuara terkait pro-kontra keputusan Jokowi menolak grasi dan mengeksekusi delapan terpidana mati. Dan menunda satu terpidana yaitu Mary Jane yang berasal dari Filipina.

Pada tulisan sebelumnya di basa-basi.com, Edi AH Iyubenu juga sudah membahas tentang hiruk pikuk hukuman mati. Dan kali ini saya tidak akan membahasnya lagi, apakah hukuman mati bagi para pengedar narkoba itu pantas atau tidak. Yang ingin saya soroti justru terkait waktu pelaksanaan eksekusi yang dilakukan setelah Konferensi Asia Afrika (KAA).

Apakah ada hubungannya eksekusi mati terpidana mati dan KAA???

Sebelumnya, masyarakat Indonesia menunggu kepastian pemerintah akan mengeksekusi para terpidana dari Maret lalu. Karena waktu yang tidak jelas saat itu, sempat juga tersiar bahwa Indonesia ketakutan akan kecaman dari luar negeri. Karena dari kesembilan terpidana hanya satu yang warga negara Indonesia.

Mulai dari pemerintah Brazil, Belanda, Australia, Prancis, dan bahkan PBB ikut mengecam kebijakan Indonesia. Ada yang menarik duta besarnya, ada yang menolak duta besar Indonesia, dan Australia mengancam boikot kunjungan ke Bali. Di mana bali adalah surganya warga negara Australia dan kalau ada boikot maka Bali akan sepi pengunjung.

Mendengar kecaman dari berbagai Negara itu, Jokowi terlihat tak bergeming dan menyatakan akan tetap kukuh melanjutkan rencananya. Akan tetapi ada periode ketidakjelasan terkait waktu pelaksanaan yang pasti.

Sedang mempersiapkan Konferensi Asia Afrika menjadi alasan pemerintah pada saat itu. Dan akhirnya Jokowi memutuskan akan mengeksekusi setelah perhelatan internasional yang diadakan di Bandung itu. Konferensi itu terlihat sukses besar karena berhasil mendatangkan puluhan Negara dari Asia dan Afrika. Walaupun dihadiri banyak negara, tapi yang sering kita lihat di pemberitaan justru dua wajah dari dua Negara yang selalu berdampingan.

Yang satu adalah Presiden kita, Jokowi dan yang satunya dari Tiongkok Xi Jinping. Mereka terlihat begitu mesra berduaan. Mulai dari selalu jalan beriringan di garis terdepan di antara Negara-negara lainnya, kemudian selalu duduk berdampingan dan bahkan berpakaian batik dengan warna yang sama saat jamuan makan.

Yang menarik lagi adalah pidato Jokowi saat membuka perhelatan akbar tersebut. Dengan terang-terangan Jokowi menyebut adanya ketidak seimbangan global dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. Kalau di zaman SBY, Indonesia lebih menganut sejuta kawan tanpa musuh lain lagi dengan presiden kita saat ini. Sepertinya Jokowi mengindikasikan siap bertentangan dengan beberapa negara barat dengan porosnya Amerika.

Masih terkait pidatonya, Jokowi bahkan berani mengajak negara Asia Afrika untuk merefomasi PBB dan tak bergantung lagi pada bank dunia bikinan barat. Ternyata bukan hanya Soekarno yang berani ngomong kayak gitu. Rupanya dibalik kekaleman Jokowi, Ia memiliki mental keras Bung Karno yang sangat tegas dalam arah politik dunia. Tetapi, tidak mungkin Jokowi seberani itu jika tanpa backing-an.

Ya..sudah dapat ditebak bahwa negeri tirai bambo melalui Xi Jinping adalah aktornya. Dan dengan kata lain poros Indonesia saat ini berkiblat pada sang penguasa dunia yang baru. Ini terlihat dari berbagai kerjasama yang disepakati antar dua negara.

Dari situs Sekretariat Kabinet disebutkan, proyek infrastruktur yang menggandeng Tiongkok antara lain pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar

udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW).

Luar biasa. Semoga itu bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Lagi-lagi, kita hanya bisa berharap dan tidak tahu realisasinya nanti seperti apa. Apakah akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia atau malah meningkatkan keuntungan Tiongkok sebagai negeri imperialis yang baru??

Akhirnya, tak menunggu lama setelah KAA selesai, tanggal pasti eksekusi ditetapkan di akhir April lalu. Kecaman dan Ancaman negara-negara barat hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Rupanya kesuksesan KAA menjadi tameng yang sekaligus benteng kekuatan kebijakan politik luar negeri Jokowi—termasuk kebijakan Jokowi menghukum mati tujuh warga negara asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar