Menu

Rabu, 03 Juni 2015

Di Antara Fajar dan Senja


Hanya tinggal menghitung hari, Petani di Desa Sejahtera akan memanen hasil garapannya selama 3 bulan. Bulir-bulir padi yang semakin merunduk adalah pertanda. Batangnya semakin tak mampu menahan bertambahnya berat biji. Setelahnya, mereka tinggal menanti—5 hektare persawahan terlihat seperti permadani yang terhampar dengan warna kuning keemasannya. Tak ketinggalan burung-burung emprit pun turut serta, beterbangan dari satu kotak persawahan ke kotak yang lain.

“Padinya kuning bersih ya pak,” ujar Sri sambil memegang buliran padi.

“Ya, sayangnya hasil panen kali ini takkan sampai ke lumbung kita”

“Loh..loh..kok gitu pak…” dengan nada kecewa—padahal Sri sudah menata lumbung dengan balok-balok memanjang sebagai alas tumpukan karung-karung padi.

Dengan tenang Parjo menjelaskan,”Dua bulan lalu kita berhutang banyak ke Pak Darmaji untuk biaya pengobatanmu, jadi semua yang ada di lahan ini sekarang milik Pak Darmaji. Begitu perjanjiannya.”

“Oh,,jadi bapak waktu itu pinjem ke tengkulak itu,”

“Ya gimana lagi bu,,saat itu hanya dia yang bisa kasih pinjaman. Apa iya aku tega biarkan ibu tergeletak di kamar terus dengan batukmu yang aku sendiri takut mendengarnya.”

Mendengar itu, Sri menunduk tak tega melihat raut muka Parjo yang habis ia marahi. “Ya dah pak, ayo kita pulang saja.”

Mereka berjalan perlahan menyusuri kecilnya pematang sawah. Di saat hampir sampai tepi jalan desa, mereka berpapasan dengan Pak Darmaji. Ia memakai setelan hem putih bersih dan celana jins. “Padinya bagus kan pak?” sapa Pak Darmaji.

“Batangnya sampai tak mampu menahan bulir padinya pak. Beruntung bapak,” timpal Parjo dengan sedikit kecewa mengingat harga padi yang juga lagi tinggi.

“Baguslah,” Pak Darmaji kegirangan mendengarnya.

Setelah berpapasan dengan Pak Darmaji, kedua suami istri itu masih berjalan lamban dan masing-masing diam—tanpa sepatah kata menyusuri jalan desa yang jauhnya sekitar 1 km menuju rumah mereka.

“Padahal kalau di panen sendiri, hasilnya jauh melebihi dari besar hutang,” gumam Parjo dalam hati. Sambil menekuk beberapa jari tangannya— memperkirakan uang yang akan didapat jika dipanen, “Paling tidak itu ada satu ton, kalau harga padi sekarang Rp 450 ribu per kuintalnya berarti Pak Darmaji dapat Rp 4,5 juta,” seloroh Parjo dengan penuh kecewa. Padahal ia hanya meminjam Rp 2,7 juta saja.

“Anak lanang1 ku….” Teriakkan Bu Darmaji itu sentak memecah keheningan langkah Parjo dan Sri.

“Ada apa ya?” kata Sri sambil menatap suaminya—tepat di depan rumah berlantai dua dipagari teralis menjulang tinggi mengitari pekarangan yang luas—cukup untuk jadi lapangan bola. Dari kejauhan Nampak seorang berpawakan tinggi rupawan, berkulit putih turun dari mobil sedan menyangking tas-tas besar dengan kedua tangannya. “Kayaknya anak Pak Darmaji baru pulang. Kalau ngga salah Fikri pa ya bu,” timpal Parjo. Sri hanya mengangguk, mengiyakan kata-kata suaminya dan mereka mulai mempercepat langkah setelah melewati kediaman Pak Darmaji.

Di esok paginya, jamaah di Mushola Baiturrahman bertambah satu melengkapi shaf sehingga penuh—jamaah saat solat subuh memang selalu paling sedikit, tak nyampai penuh 1 shaf. Setelah solat selesai, Fikri menyalami satu per satu jamaah yang semuanya sudah berumur lebih dari 60 tahun.

1 Anak Lanang (Bahasa Jawa) yang artinya anak laki-laki

“Kamu anaknya Pak Darmaji ya,” tanya seorang jamaah yang keseluruhan rambutnya sudah memutih. Belum sempat menjawabnya, sang kakek langsung memeluk dan mengusap bahu Fikri. “Alhamdulillah,” lanjutnya.

Selepas memeluk Fikri, sang kakek tanpa berkata apa-apa lagi langsung pergi dan Fikri masih bengong—bertanya dalam hati. “Maksudnya apa ya?”

Sebelum matahari nampak, Fikri berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan kecil desa. Segarnya udara pagi dan kicauan burung-burung membuatnya lupa sudah berapa jauh ia melangkahkan kakinya. Ia terhenti ketika melewati rumah Pak RT. Ia terheran dengan banyaknya warga yang berjajar memanjang sampai ke luar halaman rumah Pak RT. Bahkan ada yang duduk-duduk di sekelilingnya.

“Ada apa ya pak,” Tanya Fikri ke lelaki paruh baya yang berdiri paling ujung barisan yang tak lain adalah Parjo.

“Biasa mas, ngantri jatah beras miskin,” timpal Parjo.

Fikri terdiam sejenak, berpikir kalau di desanya yang baru panen seharusnya tak ada lagi antrian pembagian beras miskin. “Bukannya habis panen pak?”

“Sudah habis mas.”

Fikri semakin bingung dengan jawaban Parjo. Tidak mungkin hanya berselang beberapa hari saja mereka (para petani) tak punya padi untuk digiling. “Orang macam apa yang makannya puluhan kilo beras,” gumam fikri keheranan. “Padahal bapak yang bukan petani punya stok beras yang cukup untuk memenuhi kebutuhan orang se-RT dalam satu bulan.”

Setibanya di rumah ia bertanya ke bapaknya. Saat itu Pak Darmaji tengah duduk di halaman depan—membaca koran dan ditemani kopi panas bikinan ibu, Fikri langsung bergabung dengannya.

“Pak, tadi di rumah Pak RT, warga banyak yang ngantri beras miskin.

Padahal mereka kan baru panen ya pak?

Pak Darmaji melipat korannya, kemudian berdiri dan menggandeng Fikri ke gudang. “Itu padi-padi mereka. Para petani di sini menjualnya ke bapak.”

Fikri semakin dibuat bingung dengan jalan pikiran orang-orang di desanya. ”Begitulah orang-orang desa, ngga ngerti manajerial,” Pak Darmaji menjelaskannya—melihat anaknya bengong.

…….

Selang beberapa hari di rumah, Fikri selalu menyempatkan diri jalan-jalan dan ngobrol dengan para warga desa setelah selesai solat subuh di mushola. Setelah capai berkeliling, seringnya ia mampir ke rumah Parjo yang berada di tepi sungai.

“Bu..buatin teh buat mas Fikri..,” kata Parjo. “Apa mau sarapan yuk.. tapi menu kami ngga seenak di tempat mas Fikri.”

“Sama aja kok pak, enak ngga enak kan tergantung bagaimana kita menikmatinya bukan jenis makanannya. Tapi saya memang ngga biasa makan terlalu pagi pak..” tolak Fikri dengan kerendahan hati.

Fikri malah jadi teringat waktu banyak warga desa di rumah Pak RT. “oh ya pak, setelah melihat antrian di rumah Pak RT itu, sebenarnya saya bingung,” “Bingung kenapa mas,” timpal Parjo.

Akhirnya Fikri bertanya tentang kehidupan para petani di desanya. Setelahnya Parjo menjelaskan bagaimana peliknya menjadi seorang petani. Hasil panen yang di dapat petani, tak sebanding dengan pengeluaran biaya pengelolaan dan juga biaya hidup yang semakin tinggi.

“Belum lagi berurusan dengan tengkulak mas. Sebagian besar para petani di sini berhutang ke tengkulak, dan sebaai gantinya garapan sawahnya menjadi milik tengkulak,” Parjo kelepasan, dan baru menyadari kalau Fikri adalah anak Pak Darmaji. “Eh, maaf..”

“Loh kok maaf, mang kenapa?” Fikri belum sadar bahwa yang dimaksud Parjo tak lain adalah ayahnya sendiri.

Parjo terdiam dan kebingungan menjawabnya. Ia lantas berdiri dari kursinya dan mengajak Fikri melihat kambing peliharaanya di kandang belakang rumah.

“Banyak juga pak”

“Ini bukan hanya milik sendiri mas, ada 4 ekor punya tetangga. Bapak pelihara dari kecil, kemudian kalau sudah besar nanti dibagi keuntungannya.

Kalau punya bapak Cuma 2 ekor mas..” timpal Parjo sambil menunjukkan satu per satu kambing di kandangnya.

“Oh begitu, ya lumayan buat tabungan ya pak..”

Setelah sinar matahari sudah mulai menghangatkan kulitnya, Fikri memutuskan untuk pamitan dan balik ke rumah.

Sesampainya di rumah, Ia melihat bapak yang tengah meimbang karung-karung padi yang kemudian ditata rapi di truk besar untuk dijual ke pemasok di kota.

Melihat itu, Fikri kembali teringat kata-kata Parjo. “Belum lagi berurusan dengan tengkulak,” gumam Fikri mengulang perkataan Parjo.

“Tengkulak..berarti itu bapakku.”

“Fik..Fikri..”

“Oh, ya pak,” jawab Fikri tersadar dari lamunannya.

Lantas, Fikri berlari mendekati Pak Darmaji yang tengah sibuk menghitung dengan kalkulator besarnya.

“Ini, bantuin hitung, sambil belajar bagaimana usaha seperti bapak,” suruh Pak Darmaji.

Fikri hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Teringat pembicaraan yang baru saja terjadi dengan Parjo.

“Ini kalkulatornya,”

Fikri meraih kalkulator yang disodorkan Pak Darmaji dan mulai menghitung berat per karung. “Aku akan jadi tengkulak?” gumam Fikri dalam hati.

……

Malam harinya, Fikri masih kepikiran apa yang terjadi di siang hari. Jarum jam dinding yang kecil sudah berada di angka 12 dan ia belum bisa memejamkan mata.

Sistem jual beli ijon tak sesuai dengan ajaran nabi. Itu haram.

Fikri teringat kata-kata yang pernah dikatakan dosennya waktu di perkuliahan. “Berarti selama ini, keluargaku makan uang…” Fikri tak berani meneruskan kata itu. Ia kembali hanyut dalam lamunan. “Koperasi” teriak Fikri, “Ya,, koperasi.”

Seperti biasanya, di pagi Ia mengelilingi desa dan Ia sempatkan lebih banyak waktu untuk ngobrol-ngobrol dengan orang desa. Ia mengajak seluruh petani untuk membangun kembali koperasi yang sudah lama mati. Fikri menjelaskan secara detil konsep koperasi yang akan dibangunnya.

Mulai dari sistem keanggotaan, proses sistem simpan pinjam tanpa bunga, tetapi melalui sistem bagi hasil, dan kemudian akan dikembangkannya pertanian organik. Pupuk organik nantinya berasal dari pengelolaan sapi dari koperasi dan kemudian kotoran-kotorannya akan diolah kembali menjadi pupuk. Dengan pembagian pupuk ke anggota, nantinya semua petani di desa tak perlu lagi membeli pupuk dan obat-obatan organik. Tak hanya itu, jika terus berkembang, koperasi akan mengelola penjualan gabah petani, dan bisa juga dibangun pabrik penggilingan sendiri. Jadi petani nantinya bisa menjual beras langsung atau melalui kemasan yang menarik sehingga menambah harga jual dan tentunya meningkatkan pendapatan petani.

Tidak ingin berlama-lama, Fikri beserta perwakilan warga yang di antaranya Parjo langsung menemui kepala desa dan mengutarakan konsepnya. Melihat respon positif warga yang begitu antusias menjadi dorongan semangat yang begitu besar bagi Fikri. Setelah mendengar penjelasan Fikri, Pak Budi, Kepala Desa Sejahtera hanya mengangguk-angguk dan kemudian ia berdiri dan mengajak Fikri ke ruang sebelah dan bicara empat mata dengan Fikri.

“Kamu yakin dengan usulmu, bagaimana bapakmu nanti?” tanya Pak Budi.

Fikri langsung menundukkan kepala, dan sesaat keduanya terhening. “Benar kata bapak, tapi saya sudah memikirkannya matang-matang. Apapun resikonya, sepenuhnya itu tanggungjawabku pak,” jawab Fikri dengan lirih.

Sebelum Pak Budi bicara, tiba-tiba Pak Darmaji membuka pintu. Dengan muka merah padam, Pak Darmaji masuk dan duduk di samping Fikri. Tubuh Fikri langsung gemetaran. Rasa takut dan bersalah kepada bapaknya menyelimutinya, tetapi sejenak ada rasa bersalah juga kepada warga desa.

“Ada apa ini?” tanya Pak Darmaji dengan nada meninggi.

Fikri terus-terusan menunduk tak mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Pak Budi menjelaskan duduk persoalannya terkait keinginan warga yang dimotori anak kesayangan Pak Darmaji sendiri.

“Kamu, anak tidak tau diri…! Kamu sekolah tinggi-tinggi juga karena usaha bapak, sekarang kamu mau hancurkan seketika..!”

“Sabar pak, ngga enak didengar warga,” Pak Budi mencoba menenangkan Pak Darmaji.

Kemudian Fikri akhirnya berani angkat bicara. Dengan penuh kehati-hatian—takut emosi bapaknya semakin meledak, Fikri menjelaskan konsep koperasi syariahnya dari awal kembali.

Sementara Pak Darmaji mendengarkannya dengan seksama, ngga mau kelewatan sepatah kata pun.

“Jadi semua warga nanti berhak menjadi anggota, termasuk bapak. Dan yang sudah tergabung jadi anggota akan mendapatkan porsi kerja dan keuntungan yang adil bagi setiap orang,” kata Fikri menjelaskan.

“Walau tak sebanyak apa yang kita dapat sekarang pak, tapi setidaknya ini lebih dianjurkan dalam agama.”

Kini giliran Pak Darmaji yang terdiam. Ia menopang kepalanya di atas meja dengan tangan kanannya. Selama seperempat jam ruangan itu bisu, hingga akhirnya Pak Darmaji keluar ruangan tanpa mengatakan apa pun. Pak Darmaji langsung meninggalkan balai desa, dan warga yang berkerumun di luar menepi membuka jalan bagi Pak Darmaji yang berjalan selambat siput.

Akhirnya pembicaraan terkait koperasi syariah yang diusulkan Fikri terus berlanjut sampai Adzan Maghrib menghentikannya. Dari permusyawaratan itu, diputuskan Fikri menjadi koordinator sementara pendirian koperasi.

Kemudian, semua warga membubarkan diri masing-masing. Fikri dengan langkah cepat langsung pulang ke rumah, namun ia terhenti di dekat mushola.

“Hayya’ alash shalaah… hayya’ alash shalaah…”

“Suara itu..” Fikri berdiri sejenak mendengarkanya.

“Hayya’ alal falaah… Hayya’ alal falaah…”Allaahu Akbar Allahu Akbar.

Laa Ilaaha Illallaah.

“Itu suara bapak..” Fikri langsung berlari menuju mushola. Dengan gontai Ia bersujud di depan bapaknya dan meminta maaf.

“Sudah nak,, kamu benar..justru bapak malu dengan diri sendiri,” ucap Pak Darmaji penuh kelembutan. “Satu-satunya kesalahanmu adalah tidak mengingatkan bapak secara langsung.”

“Iya pak,,maaf Fikri memang salah..”

Akhirnya mereka berpelukan dan melanjutkan sholat berjamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar